Shalat berjamaah merupakan syi'ar islam yang sangat agung,
menyerupai shafnya malaikat ketika mereka beribadah, dan ibarat pasukan dalam
suatu peperangan, ia merupakan sebab terjalinnya saling mencintai sesama
muslim, saling mengenal, saling mengasihi, saling menyayangi, menampakkan
kekuatan, dan kesatuan.
Bagi umat Islam, mungkin di antara hal yang dapat menentramkan
batin mereka adalah keyakinan bahwa sesungguhnya segala sesuatu yang terjadi di
dunia ini adalah pasti melalui izin dan kehendak Allah s.w.t semata. Tiada
suatu kebaikan ataupun keburukan yang mendatangi seseorang kecuali itu memang
telah diatur dan dipersiapkan jauh sebelum kedatangannya, tanpa ada yang bisa
menangguhkan ataupun menyegerakannya, dan tiada pula yang akan bisa menghalangi
ataupun sampai perlu untuk memaksakannya. Semua ketentuan tentang kebaikan
ataupun keburukan telah diukur dan tidak pernah meleset, melainkan selalu tepat
menurut hikmah yang telah dikehendaki oleh Allah s.w.t. Dan setiap hikmah
biasanya akan dapat diketahui ketika segala sesuatu telah berlalu.
Tiada bentuk rizki yang
akan pernah salah alamat, hingga misalnya ketika ia semestinya tertuju kepada
seseorang namun ternyata justru sampai kepada seseorang lainnya. Demikian juga
dengan perkara kerugian, yang mana tidak akan pernah sampai menimpa seseorang
yang seharusnya memang tidak tertimpa kerugian tersebut. Sesungguhnya apa saja
bentuk kebaikan ataupun keburukan yang tidak jadi sampai kepada seseorang, maka
memang itulah yang sebenarnya harus luput darinya, karena memang itu bukanlah
hak atau nasibnya. Tiada bagian seseorang yang akan sampai direbut atau
dipergunakan oleh orang lain, dan tiada pula amal seseorang yang akan sampai
dikerjakan oleh orang lain. Segala keberuntungan ataupun kerugian pada
seseorang tidak akan pernah berganti dengan keberuntungan atau kerugian orang
lain, karena sesungguhnya nasib setiap orang itu hanya akan dijalani oleh
dirinya sendiri, dan tidak akan pernah tertukar dengan nasib orang lain.
Dan bentuk keyakinan
inilah yang akan dapat membantu setiap muslim untuk dapat senantiasa menerima
dan mensyukuri segala keadaan yang dialaminya. Keyakinan inilah yang dapat
melahirkan kesadaran bahwa sesungguhnya segala bentuk kemudahan yang dialami
oleh seseorang pada hakikatnya hanyalah atas kehendak Allah s.w.t semata, dan
bukan atas kehendak orang itu sendiri; dan juga bahwa sesungguhnya segala
bentuk kesulitan yang menghampiri seseorang, pada hakikatnya juga telah
ditetapkan sedemikian rupa oleh Allah s.w.t, yang memang telah direncanakan
untuk menjadi bagian dari jalan cerita kehidupan orang tersebut.
Jalan cerita kehidupan
setiap manusia pada hakikatnya telah tertulis lengkap di dalam sebuah kitab,
yaitu Lauh Mahfudz, tanpa ada satu celah waktu pun yang belum terisi dengan
catatan peristiwa atau kejadian. Demikian juga dengan perkara sifat-sifat
manusia dan sifat-sifat segenap makhluk lainnya, baik sifat-sifat fisik maupun
non-fisik, yang mana semua itu juga telah secara lengkap tercatat di dalam Lauh
Mahfudz. Kaya ataupun miskin, kuat ataupun lemah, besar ataupun kecil, luas
ataupun sempit, halus ataupun kasar, basah ataupun kering, dan segala bentuk
sifat yang ada pada ciptaan Allah s.w.t sesungguhnya telah tertulis secara
sangat terperinci di dalam kitab tersebut, tanpa ada yang terlewatkan. Allah
s.w.t berfirman di dalam al-Qur’an yang artinya berikut ini:
“Dan pada sisi
Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tiada yang mengetahuinya kecuali Dia
sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada
sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya pula, dan tidak jatuh
sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak pula sesuatu yang basah
ataupun yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).”
(Al-An’aam: 59)
Dan yang demikian itulah
wujud iraadah kauniyyah (qadariyyah) Allah s.w.t, yaitu
kehendak-Nya dalam menentukan takdir atau nasib bagi segenap makhluk-Nya.
Sesungguhnya, tiada
seorang manusia pun yang pernah sanggup memilih nasibnya sendiri, karena tentu
jika manusia bisa memilih nasibnya sendiri, maka pasti tiada yang akan memilih
untuk menjadi orang yang lemah atau tidak mampu, baik lemah atau tidak mampu
secara fisik maupun secara non-fisik. Dan seandainya saja semua manusia
ternyata bisa memilih nasibnya masing-masing, lalu semuanya memilih untuk
menjadi orang yang mampu, maka tentu akan juga sulit dibayangkan ketika
misalnya orang-orang yang kaya sampai tidak bisa mengambil orang-orang tertentu
untuk dapat membantu urusan dan keperluan-keperluan di rumah mereka, karena
memang ketika itu semua manusia sudah menjadi kaya dalam keadaannya
masing-masing. Tentu jika semua manusia telah menjadi kaya, maka tiada lagi
yang perlu bekerja kepada orang-orang yang kaya lainnya. Dan keadaan yang
semacam itu pasti sangatlah sulit untuk dibayangkan.
Maka di sinilah kita
mungkin bisa mengambil hikmah, bahwa ternyata memang demikianlah wujud
kesempurnaan cara Allah s.w.t dalam membagi-bagikan anugerah-Nya di antara umat
manusia, yaitu dengan melebihkan kemampuan sebagian manusia di atas sebagian
lainnya, agar mereka dapat saling mengambil manfaat dan saling membantu satu
sama lain. Sesungguhnya tiada manusia yang mampu, kecuali pasti ia akan
memerlukan pertolongan dari orang-orang yang tidak mampu. Dan yang demikian itu
adalah bukti bahwa orang-orang yang mampu pun pada dasarnya juga memiliki
ketidakmampuan dalam hal tertentu, hingga mereka pun akan harus ditolong oleh
orang-orang yang tidak mampu.
Oleh karena itu, dari
kenyataan tersebut kita mungkin dapat menyimpulkan bahwa hakikat kebaikan dalam
Islam pada dasarnya tidaklah hanya dapat diraih melalui keadaan manusia
tertentu saja, melainkan ia akan dapat diraih oleh siapapun dari umat Islam
melalui keadaannya masing-masing. Baik sebagai orang yang kuat ataupun sebagai
orang yang lemah fisiknya, mampu ataupun tidak mampu secara materinya, setiap
orang dari umat Islam akan tetap memiliki kesempatan yang sama untuk dapat
memperoleh kebaikan dari sisi Allah s.w.t, yaitu ridha dan rahmat-Nya. Sehingga
dengan demikian, di antara umat Islam tidak perlu sampai ada kecenderungan
untuk saling ingin bertukar nasib atau kebiasaan membanding-bandingkan nasib,
karena bagaimanapun juga, semuanya juga sama-sama memiliki kesempatan yang
serupa untuk dapat memperoleh kebaikan tersebut.
Dan bentuk keyakinan
semacam itu tentu bukanlah dimaksudkan untuk menghalang-halangi umat Islam dari
memiliki cita-cita yang lebih baik lagi, melainkan tak lain adalah untuk
mengingatkan bahwa sesungguhnya di balik segala kekuatan yang ada pasti
terdapat Dzat Maha Kuat yang telah menghendaki kekuatan tersebut, sehingga pada
dasarnya kuranglah patut jika pencapaian yang ada hanyalah diakui sebagai hasil
dari kemampuan dan jerih payah kita sendiri, tanpa mengakui atau menyadari
keterlibatan Allah s.w.t di dalamnya.
Baca Juga Artikel : Apakah Anda Rendah Hati Atau Sombong?
Keyakinan yang demikian itulah
yang akan dapat membantu orang-orang yang belum dianugerahi keberuntungan
tertentu dalam usaha bersyukur atas apa yang telah ada. Dengan memegang
keyakinan tersebut, mereka yang cacat fisiknya akan lebih mudah menghindari
keluhan atas keadaannya serta mencegah diri mereka dari mendambakan nasib
seperti orang lain yang utuh fisiknya; sebagaimana orang-orang yang mampu juga
akan terbantu dalam usaha menahan diri mereka dari mencela orang-orang yang
lemah; karena bagaimanapun juga, semua kelebihan yang ada pada manusia pada
hakikatnya hanyalah semata-mata atas ketentuan Allah s.w.t.
Allah s.w.t telah
mengingatkan bahwa segala nikmat yang ada pada manusia sesungguhnya hanyalah
pemberian dari-Nya semata, dan bukan dari kemampuan ataupun atas kehendak manusia
itu sendiri. Di dalam al-Qur’an disebutkan yang artinya berikut ini:
“Dan apa saja nikmat
yang ada pada kalian, maka dari Allah-lah (datangnya).” (An-Nahl: 53)
“Sesungguhnya kita
hanyalah milik Allah, dan sesungguhnya hanya kepada-Nya-lah kita kembali.”
(Al-Baqarah: 156)
“Sungguh atas kehendak
Allah sajalah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan
Allah.” (Al-Kahfi: 39)
“Dan tidaklah kalian
dapat menghendaki kecuali apabila Allah Tuhan semesta alam menghendaki.”
(At-Takwiir: 29)
Maka dari makna ayat-ayat
tersebut, kita akan harus mengakui bahwa sebenarnya segala bentuk nikmat, baik
berupa kesanggupan, kemudahan, lingkungan, persahabatan, bahkan hingga nikmat
iman dan Islam sekalipun, pada hakikatnya juga hanyalah pemberian dari Allah
s.w.t semata, dan bukanlah hasil pesanan atau pilihan dari manusia itu
sendiri.Jika manusia adalah ibarat daun-daun yang gugur dari sebuah pohon, maka
mereka tak pernah bisa memesan atau memilih di sudut bumi sebelah mana mereka
akan terjatuh, dan angin semacam apa yang akan membawa mereka bergerak hingga
berhenti, sebagaimana mereka tidak pernah bisa memesan atau memilih dari
keluarga semacam apa mereka dilahirkan, jalan kehidupan seperti apa yang akan
mereka lalui, dan dalam keadaan yang bagaimana mereka akan meninggal dunia.
Segala bentuk nasib, baik
berupa kebaikan ataupun keburukan, memperoleh petunjuk ataupun tidak,
sesungguhnya telah ditetapkan oleh Allah s.w.t dan telah tertulis di Lauh
Mahfuudz jauh sebelum penanggung nasib tersebut diciptakan, tanpa ia bisa
memesan atau memilih nasibnya itu sendiri. Allah s.w.t menegaskan hal tersebut
dalam al-Qur’an sebagaimana yang artinya berikut ini:
“Dan Tuhanmu
menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada
pilihan bagi mereka.” (Al-Qashash: 68)
“Tiada suatu bencana
pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada diri kalian sendiri melainkan
telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfudz) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Al-Hadiid: 22)
“Katakanlah:
‘Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh
Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah sajalah
orang-orang yang beriman harus bertawakkal.’” (At-Taubah: 51)
“Katakanlah: ‘Aku
tidak berkuasa mendatangkan marabahaya dan tidak (pula) kemanfaatan kepada
diriku (sendiri), melainkan apa yang dikehendaki Allah.’ Tiap-tiap umat
mempunyai ajal. Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat
mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukan (nya).”
(Yunus: 49)
“Maka Allah
menyesatkan siapa saja yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa
saja yang Dia kehendaki.” (Ibrahim: 4)
Setidaknya, dari makna
ayat-ayat tersebut, kita dapat semakin meyakini bahwa sesungguhnya perkara
menjadi mampu ataupun lemah, beruntung atau kurang beruntung, hingga bahkan
memperoleh hidayah ataupun justru tersesat, pada hakikatnya telah ditetapkan
oleh Allah s.w.t jauh sebelum semua itu menjadi kenyataan. Kita mungkin juga
ingat ketika dua orang penghuni penjara menanyakan makna dari mimpi mereka
masing-masing kepada Nabi Yusuf AS, di mana beliau lantas menjelaskan bahwa
perkara yang mereka pertanyakan maknanya tersebut pada hakikatnya telah
ditetapkan sebelum perkara itu menjadi kenyataan nantinya. Dan pada akhirnya
pun takwil beliau tersebut juga benar-benar menjadi kenyataan. Dan berikut
inilah makna ungkapan Nabi Yusuf AS tersebut:
“Telah diputuskan
(ditetapkan) perkara yang kalian berdua mempertanyakannya (kepadaku).”
(Yusuf: 41)
Jadi, dari sini kita akan
harus mengakui bahwa sesungguhnya tiada yang pernah berubah dari ketentuan atau
ketetapan Allah s.w.t di masa lalu. Penghuni penjara yang telah ditetapkan
nasibnya dalam Lauh Mahfudz untuk dibebaskan hingga ia dapat memberi minuman khamr
kepada tuannya, maka ia akan pasti menjalani ketetapan tersebut. Dan penghuni
penjara yang telah ditetapkan nasibnya untuk disalib hingga sebagian kepalanya
harus dimakan oleh burung juga tidak akan mungkin bisa menghindar dari
ketetapan tersebut. Semua bentuk ketetapan telah sempurna, dan yang belum
sempurna hanyalah pelaksanaannya saja.
Maka sesungguhnya, yang
saat ini telah memperoleh sebuah kebaikan berupa hidayah iman dan Islam,
misalnya, adalah karena memang jauh sebelumnya telah ditetapkan untuk
memperoleh hidayah tersebut pada saat ini. Dan yang saat ini belum memperoleh
hidayah iman dan Islam pun juga adalah karena memang sebelumnya telah
ditetapkan untuk belum memperoleh hidayah tersebut saat ini. Dan hanya Allah
s.w.t sajalah yang lebih tahu tentang siapa saja yang telah dan akan memperoleh
hidayah-Nya. Ini berarti bahwa memang perkara hidayah pada hakikatnya juga
tidaklah bisa dipaksakan, demikian juga dengan perkara-perkara yang lain.
Semuanya hanya akan terwujud dan terlaksana sesuai ketetapan Allah s.w.t saja,
dan bukan atas paksaan hamba-Nya sendiri, karena pena takdir telah selesai
digoreskan dan tiada yang akan bisa memaksa catatan takdir tersebut untuk
berubah. Dalam riwayat hadits telah disebutkan yang artinya berikut ini:
“Ketahuilah, bahwa
seandainya seluruh umat berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka
mereka tidak akan dapat memberi manfaat kepadamu, kecuali dengan sesuatu yang
telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk
menimpakan suatu marabahaya kepadamu, maka mereka tidak akan dapat menimpakan
marabahaya kepadamu, kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu.
Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.” (Riwayat at-Tirmidzi)
“Allah telah menuliskan
takdir-takdir seluruh makhluk lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan langit
dan bumi.” (Riwayat Muslim)
Baca Juga Artikel : Meluruskan Aqidah
Dan dari sini, mungkin
akan muncul sebuah pertanyaan, yaitu jika memang segala bentuk nasib di masa
depan ternyata telah ditentukan atau ditetapkan, lalu mengapa dan untuk apa
kita diperintahkan untuk berbuat dan berusaha untuk merubah nasib kita? Mengapa
di satu sisi, al-Qur’an dan al-Hadits menjelaskan bahwa segala sesuatu pada
hakikatnya telah ditetapkan dan telah tertulis di dalam Lauh Mahfuudz, jauh
sebelum semuanya diciptakan, sedangkan di sisi lain, al-Qur’an juga menjelaskan
bahwa nasib suatu kaum itu tidak akan berubah jika kaum itu sendiri tidak
berusaha untuk merubahnya? Kita tentu juga tidak bisa memungkiri keberadaan
ayat al-Qur’an yang artinya berikut ini:
“Sesungguhnya Allah
tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada
pada diri mereka sendiri.” (Ar-Ra’d: 11)
Dalam hal ini, tentu
pertanyaan yang muncul semacam itu tidaklah bisa kita hindari, karena memang
kita seakan-akan mendapati dua kaidah yang tampak saling bertentangan. Namun
pada hakikatnya, ketika kita harus memperhatikan ayat-ayat al-Qur’an dan
riwayat-riwayat hadits secara keseluruhan, sesungguhnya wujud perintah untuk
berbuat dan merubah keadaan semacam itu tak lain adalah sebagai bentuk sebab
yang telah dikehendaki oleh Allah s.w.t, yang mana melalui sebab itulah Dia
akan merubah gerakan hati suatu kaum untuk mengarahkan ikhtiar mereka kepada
suatu perbuatan atau amal tertentu, hingga nasib mereka pun menjadi sesuai
dengan apa yang telah Dia tetapkan sebelumnya.
Pada intinya, Allah s.w.t
telah menetapkan bahwa semenjak manusia tidak diberitahu tentang nasib atau
takdir masa depan mereka, maka mereka pun menjadi harus berikhtiar dan berbuat
sesuatu untuk memenuhi nasibnya, yang pada hakikatnya juga Allah s.w.t
sendirilah yang berkuasa menggerakkan mereka ketika mereka sampai bergerak dan
berubah, sebagaimana ketika Allah s.w.t sendiri jugalah yang berkuasa
menjadikan mereka melempar ketika mereka sampai melempar. Pada kesimpulannya,
hakikat takdir itu baru akan diketahui ketika sesuatu telah terjadi. Artinya,
ketika misalnya suatu peristiwa baik ataupun buruk telah nyata terjadi di
antara manusia, maka memang itulah yang telah ditakdirkan oleh Allah s.w.t atas
mereka. Adapun takdir masa depan, maka Allah s.w.t sengaja merahasiakannya agar
kerahasiaan tersebut menjadi sebab bagi gerakan mencari atau ikhtiar manusia,
dan agar mereka tidak berputus asa atas apa yang telah lalu ataupun hingga
terlalu merasa aman dengan nasib masa depan akhirat mereka.
Dan dari beberapa
keterangan tentang hakikat takdir tersebut, kita akan dapat menyimpulkan bahwa
sesungguhnya yang dapat menyelamatkan diri kita di dunia ini maupun di akhirat
kelak ternyata bukanlah diri kita sendiri, melainkan Allah s.w.t dengan
ketentuan dan kekuasaan-Nya. Ketika misalnya suatu kaum bisa selamat dari
sebuah kesulitan, maka sesungguhnya keberhasilan tersebut bukanlah atas
kemampuan atau kekuasaan mereka sendiri, melainkan atas ketentuan dan kekuasaan
Allah s.w.t semata. Demikian juga ketika mereka tampak tidak berhasil dalam
usaha mereka, yang mana itu juga bukanlah atas kehendak mereka sendiri,
melainkan memang karena mereka tidak mungkin sanggup memaksakan apa yang bukan
menjadi hak mereka. Semua bentuk kebaikan berupa pencapaian, kesanggupan,
hingga keselamatan manusia, pada hakikatnya hanyalah atas kekuasaan dan rahmat
Allah s.w.t, dan bukan atas kekuasaan manusia itu sendiri. Sebuah riwayat
hadits juga telah menguatkan hal tersebut sebagaimana yang artinya berikut ini:
“Dari Rasulullah s.a.w,
bahwa beliau bersabda: ‘Tidak seorang pun di antara kalian yang akan
diselamatkan oleh amal perbuatannya.’ Seorang lelaki bertanya: ‘Engkau pun
tidak, wahai Rasulullah?’ Rasulullah s.a.w menjawab: ‘Aku juga tidak, kecuali
jika Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadaku. Akan tetapi, tetaplah kalian
berusaha berbuat dan berkata yang benar.’” (Riwayat Muslim)
Dari makna riwayat
tersebut, kita akan harus mengakui bahwa sesungguhnya bukanlah amalan kita yang
akan dapat menyelamatkan kita di akhirat kelak, melainkan Allah s.w.t
sendirilah yang akan mampu menyelamatkan kita melalui rahmat-Nya. Namun
demikian, meskipun bukan amalan kita yang akan dapat menyelamatkan kita
nantinya, kita tetap diharuskan untuk berusaha beramal dengan benar, karena
memang isyarat rahmat Allah s.w.t itu akan dapat diketahui melalui amalan
ketaatan kepada-Nya. Ketika Allah s.w.t telah berkehendak untuk merahmati suatu
kaum atau memberi mereka hidayah, maka Dia akan menjadikan mereka beramal
ketaatan kepada-Nya. Dan hanya Allah s.w.t sajalah yang lebih tahu kepada siapa
saja Dia memberikan rahmat-Nya tersebut.
Pada kesimpulannya,
ketika sebuah kebaikan atau nikmat dapat terwujud dalam suatu kaum, baik berupa
nikmat yang tampak sederhana hingga nikmat yang begitu berharga seperti hidayah
iman dan Islam, maka mereka harus mengalamatkan semua kebaikan atau nikmat
tersebut kepada Allah s.w.t semata, sebagaimana dicontohkan dalam ungkapan ayat
al-Qur’an yang artinya berikut ini:
“Dan kami sekali-kali
tidak akan memperoleh hidayah kalaulah Allah tidak memberi kami hidayah.”
(Al-A’raaf: 43)
Namun, ketika suatu
keburukan telah terjadi dan menimpa kaum tersebut, maka keburukan itu harus
dialamatkan kepada diri mereka sendiri, meskipun mereka juga harus meyakini
bahwa itu juga hanya dapat terjadi dengan izin dan kehendak Allah s.w.t semata.
Allah s.w.t berfirman yang artinya berikut ini:
“Apa saja nikmat yang
kamu peroleh, maka itu adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu,
maka (itu adalah) dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (An-Nisaa’: 79)
“Katakanlah:
‘Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh
Allah bagi kami.’” (At-Taubah: 51)
Dan demikian itulah
bentuk aqidah umat Islam dalam menyikapi takdir, yaitu bahwa segala kebaikan
yang ada haruslah selalu dikembalikan kepada Allah s.w.t, sedangkan segala
keburukan yang terjadi haruslah selalu dikembalikan kepada kesalahan diri
mereka sendiri, sambil meyakini dengan sepenuhnya bahwa segala kebaikan dan
keburukan juga hanya dapat terjadi dengan izin dan kehendak Allah s.w.t semata.
Aqidah semacam inilah yang sesuai dengan kehendak syari’at Allah s.w.t, atau
yang disebut dengan iraadah syar’iyyah Allah s.w.t. Adapun bentuk kesesatan
aqidah dalam perkara takdir, maka itu adalah ketika kita sampai memprotes atau
menyalahkan Allah s.w.t atas segala ketetapan-Nya, seperti ketika kita sampai
berlarut-larut mempertanyakan keadilan Allah s.w.t bagi segenap makhluk-Nya
yang nyatanya berbeda nasib antara satu dengan yang lainnya. Maka semoga kita
umat Islam selalu dilindungi Allah s.w.t dari bentuk kesesatan semacam itu.
Demikianlah. Dan dari itu
semua, semenjak kita umat Islam sama-sama tidak tahu persis keselamatan nasib
masa depan kita nantinya, maka setidaknya kita tidak saling mendoakan keburukan
jika kita tidak sampai saling mendoakan keselamatan satu sama lain.
Sesungguhnya tiada manusia yang bisa melarikan diri dari rencana dan ketetapan
Allah s.w.t, yang karena itulah kita tidak semestinya terlalu merasa aman,
hingga kita pun tampak terlalu lepas dan merasa leluasa untuk cenderung mencela
perkara yang buruk namun tanpa berupaya memberikan perbaikan, atau bahkan
hingga kita melupakan keburukan diri kita sendiri. Jika saja keburukan akan
bisa diperbaiki hanya dengan celaan dan tuduhan, maka mungkin Rasulullah
Muhammad s.a.w akan lebih banyak mengajarkan kita umatnya bagaimana cara
mencela dan menuduh daripada mengajarkan kita bagaimana cara menyikapi
keburukan.
Kita tentu mengakui bahwa
sesungguhnya tiada manusia yang terjaga dari kesalahan dan dosa seperti
Rasulullah s.a.w, dan bahwa sesungguhnya tiada pemilik rahmat kecuali Allah
s.w.t, yang karena itulah, mungkin akan lebih patut jika kita biarkan saja
pintu rahmat Allah s.w.t tetap terbuka bagi umat beliau sebagaimana mestinya.
Jika Rasulullah s.a.w sampai perlu untuk menyeru raja-raja non-Muslim agar
memeluk Islam, maka tentu sangatlah bertentangan jika kita yang sudah memeluk
Islam justru cenderung saling ingin mengeluarkan sesama Muslim dari Islam,
misalnya dengan saling mengkafirkan tanpa bukti dan alasan yang bisa
dipertanggungjawabkan, atau bahkan sampai menuduh seseorang yang telah
bersyahadat sebagai Dajjal. Jika memang misalnya seseorang tampak murtad dari
Islam sekalipun, maka mungkin akan lebih baik jika kita mencari bukti yang
jelas dan nyata terlebih dahulu sebelum kita menghukuminya, agar tuduhan kafir
tersebut tidak kembali kepada diri kita sendiri jika ternyata orang tersebut
tidaklah seperti yang kita tuduhkan. Karena bagaimanapun juga, perkara batin
hanyalah wilayah Allah s.w.t semata. Adapun perkara praktis, maka itu tidaklah
bisa dinilai sekedar menggunakan prasangka belaka.
Sesungguhnya segala
bentuk nikmat dan kebaikan hanyalah milik Allah s.w.t, dan tiada yang pernah
benar-benar menjadi milik kita sendiri. Kapan saja Allah s.w.t berhak mencabut
atau memberi apapun, dari dan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Maka
sebenarnya tidak pernah ada kerugian ketika sesuatu memang telah ditetapkan
untuk luput atau hilang, dan tiada yang perlu diakui sebagai milik sendiri
ketika yang telah ada tetaplah ada, karena memang segala ketetapan hanyalah
terserah kepada Allah s.w.t, sedangkan kita hanya diperintahkan untuk
menerimanya saja. Sesungguhnya hanya ketika kita meragukan ayat-ayat dan
janji-janji Allah s.w.t sajalah fikiran negatif dan prasangka buruk akan lebih
banyak menguasai kita. Maka semoga Allah s.w.t selalu menganugerahi kita umat
Islam fikiran-fikiran positif yang melahirkan ketentraman dan toleransi di
tengah-tengah keragaman posisi dan peran umat Islam, agar kita dapat saling
mengingatkan satu sama lain dengan cara yang lebih baik lagi, tanpa kekerasan
ataupun pemaksaan yang berakibat kerusakan yang lebih besar. Dan semoga Allah
s.w.t menjadikan umat Islam lebih banyak bersyukur atas hidayah iman dan Islam,
serta memperkuat ikatan keimanan mereka meskipun nyatanya mereka tampak
terpisah secara peran dan fungsi. Sesungguhnya hanya dari dan milik Allah s.w.t
sajalah segala kebenaran, hidayah dan taufiq.
Sumber: eramuslim
Sumber: eramuslim
0 Response to "Beraqidah itu Tentram Dan Damai"